Pertanian

Tiga Masalah Dalam Distribusi dan Pemasaran Hasil Pertanian

Berikut Uraian Kepala Seksi Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi

Sukabuminow.com || Beragam permasalahan seputar distribusi dan pemasaran hasil pertanian masih umum ditemukan di Indonesia. Hal itu yang menghambat peningkatan kesejahteraan petani hingga sulitnya produk pertanian Indonesia bersaing di pasar internasional.

Deni Ruslan, Kepala Seksi Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi, mengatakan terdapat tiga masalah umum ditemukan di Indonesia. Di antaranya masih jarangnya produk hasil pertanian yang sudah bersertifikat GAP (Good Agricultural Practices), lemahnya bergaining position para petani, dan terlalu panjangnya tata niaga hasil pertanian sebelum sampai ke tangan konsumen.

“GAP adalah salah satu sistem sertifikasi dalam praktik budidaya tanaman yang baik sesuai dengan standar yang ditentukan. Seperti halnya dalam budidaya tanaman baik pangan, hortikultura, maupun perkebunan,” tutur Deni Ruslan saat ditemui di ruangannya, Selasa (20/11/18).

Deni, yang baru saja memenuhi undangan JICA (Japan International Corporation Agency) untuk mengikuti pelatihan distribusi dan sistem pemasaran hortikultura pertanian yang modern di Jepang pada 21 Oktober hingga 3 November 2018 tersebut, menjelaskan di Jepang sertifikat GAP telah diterapkan secara menyeluruh. Sehingga produk pertanian yang dipasarkan lebih terjamin kualitasnya dan kesejahteraan petani lebih terjamin.

“Di kita masih jarang karena memang para petani belum sadar ke situ. Konsumen juga masih belum peduli dengan hal itu. Ditambah memang belum ada perbedaan harga produk yang sudah dan belum GAP. Sehingga petani enggan mengurus sertifikat GAP,” paparnya.

Kendati begitu, pihaknya terus menyosialisasikan pentingnya sertifikasi GAP kepada para petani. Sebab, itu adalah syarat utama jika ingin bersaing di pasar ekspor hasil pertanian. Dirinya juga terus berusaha mencari alternatif pasar yang membutuhkan kualitas produk di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sebab, bicara kualitas maka berbicara juga sertifikat GAP.

“Manggis di Kabupaten Sukabumi 50 persennya sudah GAP. Jahe dan temulawak di Nagrak, Ciemas, dan Cidolog juga sudah GAP. Sebab bukan hanya pasar ekspor, masuk ke perusahaan farmasi dan supermarketpun harus sudah GAP,” terangnya.

Baca Juga :

Selain GAP, peran Poktan (Kelompok Tani) dan asosiasi juga harus lebih muncul. Sebab, tujuan di bentuk Poktan salah satunya untuk memperkuat bergaining position. Karena jika hanya sedikit petani, maka produk yang dihasilkan pasti lebih sedikit dan melemahkan posisi tawar menawar.

“Pasar akan memburu penghasil pertanian yang melimpah. Saat pasar meminta produk dan petani menyanggupi, maka di situlah akan terjadi tawar menawar yang pasti menguntungkan petani,” bebernya.

Sedangkan permasalahan terakhir, yakni tata niaga hasil pertanian di Indonesia terlalu panjang. Yang lebih miris, petani di Indonesia tidak tahu berapa produknya di jual kepada konsumen di pasar.

“Dari petani kepada pengepul satu, lanjut ke pengepul dua, belum di pasar induk, pokoknya ribet. Tata niaga itu yang harus di pangkas. Perlu kehadiran organisasi yang mengatur itu semua,” tandasnya.

Butuh waktu menuju perbaikan dalam hal distribusi dan sistem pemasaran hortikultura pertanian yang modern di Indonesia lebih spesifik di Kabupaten Sukabumi. Dukungan penuh pemerintah di perlukan dalam implementasi di lapangan.

“Tidak bisa dikerjakan sendiri. Harus ada perubahan dari hulu. Sehingga efeknya dapat dirasakan oleh semua petani yang ada di hilir. Kami di Kabupaten Sukabumi, terus berupaya untuk ke arah sana,” pungkasnya. (Yadi)

Editor : Andra Permana

Berita Terkait

Back to top button