Konflik Lahan Palabuhanratu : Antara Sengketa HGU, Mafia Tanah, dan Harapan Warga

Sukabuminow.com || Sengketa lahan yang melibatkan warga Kampung Cangehgar RT 02/02, Kelurahan/Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, memanas menjelang eksekusi pengosongan yang dilakukan oleh petugas gabungan dari Pengadilan Negeri Cibadak nomor 124/KPN.W11-U18/HK2.4/I/2025 yang tertulis perihal pengosongan lahan, Rabu (22/1/25). Sebagian warga yang telah menghuni lahan selama puluhan tahun mengaku hanya memiliki Surat Pelepasan Hak (SPH) dan bukti bayar pajak, namun kini menghadapi penggusuran oleh pemilik sertifikat atas nama Yudi Iskandar.
Warga Mencari Keadilan
Salah satu warga, Hasan Dinata, mengungkapkan bahwa dirinya membeli lahan seluas 1.000 meter persegi pada tahun 2006 seharga Rp300 juta. “Saya punya SPH, bayar pajak setiap tahun dari 2007 hingga 2014. Tapi kami dihadapkan pada eksekusi ini tanpa solusi,” ujar Hasan. Ia bersama warga lainnya meminta bantuan dari tokoh masyarakat seperti Gubernur Jawa Barat terpilih, Dedi Mulyadi, untuk menyuarakan keluhan mereka.
Menurut Hasan, masyarakat di wilayah tersebut tinggal sejak tanah tersebut berstatus HGU pada 1967. Namun, kini mereka merasa terancam tanpa perlindungan hukum yang jelas karena sertifikat lahan telah diterbitkan atas nama pihak lain.
Kuasa Hukum Membantah
Di sisi lain, kuasa hukum pemilik sertifikat, Habib Yazdi Alaydrus, menyatakan bahwa semua prosedur hukum telah dilakukan sebelum eksekusi. “Kami sudah berusaha mendekati warga secara persuasif sejak 2023. Namun, tidak ada titik temu karena warga meminta ganti rugi Rp2 juta per meter,” jelas Yazdi.
Ia juga menegaskan bahwa tudingan mengenai keabsahan sertifikat sudah diuji di pengadilan, bahkan hingga tingkat Mahkamah Agung. “BPN sudah memastikan penerbitan SHM No. 1887 atas nama Yudi Iskandar sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jika warga merasa dirugikan, mereka dipersilakan menempuh jalur hukum,” tambahnya.
Sindikasi Mafia Tanah dan Penipuan
Yazdi menyinggung adanya indikasi mafia tanah yang memanfaatkan ketidaktahuan warga. Ia mengklaim beberapa oknum menjual lahan bersertifikat kepada warga dengan iming-iming legalitas. “Ada warga yang mengeluarkan hingga Rp350 juta untuk membeli tanah ini, padahal sertifikatnya sudah ada. Kami siap mendampingi warga untuk melaporkan oknum yang menipu mereka,” tegasnya.
Persoalan HGU dan Legalitas Lahan
Lahan ini awalnya merupakan bagian dari HGU yang dikelola PT Anugrah Jaya Agung pada 2001. Menurut Yazdi, dasar penerbitan sertifikat berasal dari SPH yang diterbitkan perusahaan tersebut. Namun, sebagian warga mempertanyakan keabsahan proses ini, termasuk dugaan adanya pemalsuan tanda tangan yang menjadi dasar penerbitan sertifikat.
Penutup
Di tengah konflik ini, warga Kampung Cangehgar berharap adanya solusi adil, sementara pemilik sertifikat bersikeras pada haknya yang telah diakui secara hukum. Persoalan ini mencerminkan kompleksitas sengketa lahan di Indonesia, yang sering melibatkan perbedaan persepsi antara hukum formal dan keadilan sosial. (Edo)
Editor : Andra Permana